Senin, 10 Maret 2014

Malam yang Menjemukan :(

Harus berapa kali lagi aku men-delet karanganku di layar laptopku. Rasanya aku mulai geram, mungkin mendekati putus asa. Mengapa menulis itu tidak mudah?? Mengapa ide untuk mengarang tak secepat macan berlari, bahkan terlalu lambat seperti siput. Ohh God, dari mana aku bisa mendapatkan inspirasiku dalam menulis, meski hanya sekedar diary. Mengapa begitu sulit?? Apa karena aku tak berbakat menulis? Apa karena aku tak layak memiliki karya? Itu beban sekali Tuhan… aku butuh bercerita, sekedar melepas penat dari rutinitas. Karena aku sadar… aku tak memiliki teman special yang bisa kuajak berbagi cerita, dari itu aku ingin bisa menulis. Jika bukan pada laptop dan buku diaryku, pada siapa lagi  aku berkisah. Aku lelah bila harus menangis sendiri, bahagia sendiri sampai-sampai orang menganggapku gila. Ajari aku menulis….

Sepertinya malam ini akan menjadi malam teramat panjang setelah pengaduanku karena tak layak tulis. Tugasku masih banyak dan semakin menumpuk! Bahkan materipun belum sempat kulalap tuntas! Aku merasa semua ini menjadi beban yang menjemukan. aku butuh siapapun yang bisa mengajariku bersabar dan memberiku semangat disetiap helaan nafas lelahku.

Baiklah, aku menyerah… bahakan samapai hitungan seribupun tak akan ada satu orangpun yang datang mengajariku. Lagi dan lagi dengan perasaan yang sama, apa sih? Sedih? Tidak… bahagia? Tidak… lelah? Tidak… lantas?? ENTAHLAH… aku hanya bisa berharap semoga ini akhir dari kejemuanku. HARAPAN?! Masih pantaskah kau berharap di detik-detik seperti ini? YA! Kupikir pasti iya, aku yakin aka nada jalan keluar untuk melewatinya.

Tapi, sebelum menutup perbincangan yang tak jelas ini. Bolehkah aku bertanya Tuhan…

Mengapa Engkau selipkan “kejemuan” di dalam hatiku, bahakan kejemuan ini hampir-hampir membuatku tak sadarkan diri? Aku tak bisa mengendaikan diriku sendiri Tuhan, ini sangat fatal. dimana semangatku yang selalu menggebu-gebu? Dimana kalian sekarang? 

Senin, 03 Maret 2014

Kisah Malam dan Cintanya

malam…
katakana pada mentari bahwa aku akan menjemputnya esok
katakana pada siang bahwa aku akan mengisi hari-harinya
dan katakana pada senja bahwa aku akan menemaninya hingga akhir waktu
untuk engkau yang entah ada dimana saat ini dan entah sedang apa
aku hanya bisa menitipkan doa terbaik untukmu dan untuk kita
tenang saja, aku tidak akan kelewat batas
aku tahu kau tidak pernah mengetahui hal ini
hal yang sangat urgent menurutku, tapi entah denganmu
oiya…
kau tahu?? Aku sedang tergila-gila dengan sebuah judul buku
“Jatuh Cinta Diam-diam”
Padahal dengan disadari aku tak pernah tahu apa isi bukunya
Tapi cukup meyakinkan untuk dibuktikan isi baiknya
Sepertinya memang aku lebih layak seperti judul buku itu
Aku hanya mencintainya dari sisi diriku
Yang tidak sejalan dengan dirinya

Malam..
Sepertinya aku semakin lelah
Sekali lagi sampaikan pada siapapun yang kau kenali dari hatiku

Bahwa aku akan tetap setia menjaganya 

Minggu, 02 Maret 2014

Obsesi Senja

Pernahkah kau mencintai seseorang? Tapi nyatanya seseorang yang kau cintai mengabaikanmu begitu saja, atau malah dia tidak pernah merasakan perasaan yang sama denganmu. Lantas apa yang akan kau lakukaan saat itu? Berdiam dirikah? Berusaha tegar dalam kerapuhankah? Atau kau akan menuntutnya untuk bisa mencintaimu seperti kau mencintainya?.

Pelik sekali memang perkara cinta, disatu sisi kita harus bisa mengukir kesan yang baik demi si-dia, tapi disisi lain kita tak bisa sepenuhnya berharap apa lagi bergantung hanya padanya. Mungkin saja di luar hati kita yang lain masih banyak orang yang layak kita perjuangkan. Tapi tak semudah itu bisa memaknai perasaan, bahkan sampai saat ini aku belum bisa membedakan mana itu cinta dan kagum. Apa bisa kagum dikatakan sebuah cinta yang mulai merekah? Apa bisa cinta disamakan dengan rasa kagum? Tapi, sesekali aku pernah merasakan kekaguman tanpa cinta, terkadang pula aku kagum sehingga membuat hati semakin rindu untuk berjumpa. Dari sisi mana lagi aku menilai?

Rasanya tidak salah bila aku mulai mengenal satu kata yang begitu nyentrik diera saat ini “cinta”. Aku merasakannya, sungguh. Dari jauh dan dari diam ini, aku selalu berjibaku dengan hati sendiri hanya untuk berebut hayal yang melambai-lambai dalam benakku. Menilai dari sisi buruk dan mengukur seberapa baiknya dia untukku, tapi tetap saja itu hanya dimensi hayal, karena sejatinya orang yang terus menggerayangi hayal itupun belum jelas siapa identitasnya. Memang bodoh.

Kuperingatkan sekali lagi, cintai itu tak bisa dilihat tapi masih saja ditunggu, bodohkan?! Tetap saja banyak orang yang memburunya. Tak hanya remaja, manula bahkan anak kecil pun ikut meramaikan waktu untuk memburunya. Termasuk aku. Ketika dia yang kukagumi menjadi kecintaan namun tak bersamaku lagi, alih-alih sudah mendapati hidupnya sendiri dalam keyakinannya, aku disini hanya bisa berharap pada Tuhan semoga kebahagiaannya tak berujung nestapa seperti aku yang memandanginya dari sisi yang lain.

Aku mencintainya sejak lama dan aku pernah merasakan suatu kecintaan dengannya “dulu”. Ini adalah bagian dari memori kelamku yang masih tertinggal di otak. Anehnya sejauh apapun aku melangkah tetap saja dia tidak pernah jauh tertinggal baik di depan ataupun di belakangku, rasa-rasanya dia selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Ini hanya perasaanku bukan perasaan kita. Faktanya dia sudah juah melupakan kenangan itu, dia sudah menguburnya dalam-dalam entah dimana, mungkin agar tak seorangpun bisa menggalinya dan menguak dihadapannya kelak.


Memang sulit menjadi seorang pendiam, apa lagi wanita pendiam sepertiku. Jujur sungkan dusta pun berakhir nestapa. Biarlah kugenggam perasaan ini sendiri, aku yakin jika kelak Tuhan merestui perasaanku Dia akan memberikannya untukku. Kelak kau akan kumiliki.