Jumat, 27 Februari 2015

Satu Bulan yang Lalu

Tak terasa waktu begitu cepat bergulir. meninggalkan masa lalu, menghunus kelam, penawar rindu, dan pelantun harap. Entah kalimat apa yang pantas aku sematkan disini, kata apa yang bisa benar-benar mewakili seluruh ruh kerinduanku.

Hai Tuan, apa yang kau rasa tentang hari ini? Adakah sesuatu yang spesial sedang menggerayangi otakmu?

Siang yang mendung bukan? Satu bulan yang lalu tepat pukul dua siang, kita masih berdua, menghabiskan sisa pertemuan yang hanya sesaat. Satu bulan yang lalu, aku masih bisa merasakan harum dari tubuhmu. Satu bulan yang lalu, aku masih bisa memandangmu meski diam-diam. Satu bulan yang lalu, aku masih bisa menyentuhmu dalam ragu. Dan... satu bulan yang lalu... aku ingin kembali kemasa itu, menangis tanpa arti, tertawa tak peduli hati.

Tuan, apa kau baik-baik saja? Aku hanya ingin mengenang masa lalu, mungkin ini gila, apalagi kalau sampai kamu tahu tentang catatan ini. Memalukan.  Aku hanya rindu, bagaimana pun, aku tak pernah bisa mengabaikanmu begitu saja.

Aku sadar ini hanya emosi kerinduan. meski aku tak tahan dengan gejolaknya yang semakin menggebu, belum kutemukan jalan keluranya dari perangkap rindu ini.

Aneh memang, pertemuan yang hanya sesaat tapi seperti sepasang insan yang berpisah lalu dipertemukan. Bahagia. Berulang kali aku mencoba menepis rindu yang datang, menghabiskan waktuku sendiri hanya untuk mengabaikanmu. Tapi tak pernah bisa. Semakin keras aku mencoba menenggelamkan sosokmu, semakin kuat pula ingatan ini tentangmu, tuan.

Maaf, bila hati ini telah memilihmu dalam senyap. Menyebutmu disepanjang malam. Bahkan, tak jarang bila air mata yang menetes karenamu. Tuan, aku tahu ini gila dimatamu. Tapi entah hati perempuan macam apa aku ini, yang terus merindu, padahal aku sadar, tak selalu kau ingat aku dengan jelas seperti aku mengingatmu.

Aku...
Cuma mau bilang...
"HAPPY ANNIVERSARY" kenangan... :')
Semoga Tuan selalu baik disana.

Pengagum rahasia Yang tak tahu malu.
Perindu yang tak pernah jemu.
Teman masa lalu

Jumat, 20 Februari 2015

Bangķit Bank-it

Hanya duduk diam dan menatap tembok kamar yang penuh dengan tempelan "planning". 'Kenapa harus duduk? Kapan aksinya?' Huft... suara itu, selalu saja menggerutu tiap kali aku diam. Menyadarkan, tapi, kenapa raga ini sulit sekali diajak bergerak. Rasa malas yang berkepanjangan kadang membuat jengkel, apa lagi...

Dengan segudang target dalam waktu singkat, apa aku sanggup menggarap semuanya dengan maksimal, dengan kondisi mood yang ga baik? Apa sanggup?
Kufikir menarik napas lebih dalam mampu menggugah minat dan menarik energi lebih banyak. Ternyata tidak, bahakan kantuk yang datang mengelayuti pelupuk mata.

Ini menyakitkat, memprihatinkan, meharukan. Kasihan sekali harapanmu nak, yang masih menggantung diatas dan belum bisa dipanen. Kasihan sekali.

Intensitas menatap layar gadget dan laptop lebih tinggi dari apapun. Itu buruk, perkara buruk!! Membiasakan untuk menjauhkannya mengapa begitu sulit.

Lalu apa aku bisa?
Malu sekali aku pada waktu, pada harap, pada Tuhan. Mencoba berproses nyatanya hanya sekadar wacana. Mencoba bangkit nyatanya hanya sesaat.

Aku sadar ini kesalahan kecil yang berdampak besar. Semoga... BISMILLAH... aku belum terlambat untuk bangkit dari sifat menyerah dan peratapku.

Selasa, 10 Februari 2015

Rindu Tuanku

Akhir-akhir ini hanya ada deadline yang menyibukkan, berteriak-teriak memintaku agar segera diselesaikan. Tapi, rasa hati tak ingin menjamahnya. Membayangkannyapun enggan, aku ingin berlengang sejenak. Sejenak saja. Sekadar menapaki kenangan tanpa hambatan.

Ini adalah suara kerinduan yang tak terdengar hingga telinga dan tak terungkap dengan nyata. Sura lirih penuh getir dalam nadi yang moronta memintamu, mengenangmu, dan menatapmu dalam semu.

Hei, sudah berapa hari kita tak jumpa semenjak kepergianku? Nyaris  dua minggu, tuan. Kupikir ini lama sekali, dua minggu  saja sudah seperti dua bulan. Bagaimana dengan esok, lusa, esok lusa, dan beberapa esok lainnya yang akan datang. Apa aku semakin kuat menata hati, atau malah rapuh terkoyak rindu yang berkepanjangan?

Beberapa hari kita bersama, menghabiskan sisa waktu luang, tapi tak sedikitpun terniatkan untuk saling mengenal lebih dekat. Menyapa lebih dalam tentang siapa kita. Tapi, diakhir waktu itu... aku ingat... aku begitu rapuh... menatapmu dari bingkai jendela kereta yang mulai bergerak.

Sebongkah penyesalan mulai menggelayut dalam pelupuk mataku. Mencari arti dari semua rasa rapuhku, yang meyakinkanku bahwa aku memilihmu saat itu. Dan hanya diakhir waktu itulah untuk pertama dan terakhir kalinya kita menatap lebih dalam dengan genggaman tangan penuh kehangatan.

Tuan, maaf jika aku menangisimu dalam diam. Aku tak sanggup bila menahan rindu yang berkepanjangan. Aku takut... aku takut kau tak mengenaliku (lagi) seperti pertama kali kita bertemu. Tuan,apa kau rasa seperti yang kurasa? maaf jika aku terlalu rapuh bila mengingatmu.

Suaramu masih terekam dalam ingatanku, gerak bola matamu yang menatapku pun masih tergambar sempurna dalam benakku. Tuan... bila aku tak sanggup lagi menahan rindu ini dan mengakui rasaku. Apa kau akan membenciku dan mengabaikanku? Aku takut itu terjadi. Aku takut tuan...

Hanya segelintir harap dalam doa yang bisa menenangkan. Rutinitas, deadline, dan kewajiban lainnya, hanya sebagai pengalih rinduku. Diam hanya kau yang terbayang, karena itu, aku tak ingin diam terlalu lama. Aku sadar ini cinta semu. Lagi, aku harus semakin kuat menikam hatiku tiap detik, menyibukkan diri dan berharap semua baik-baik saja.

Rabu, 04 Februari 2015

Diary usang

Diary usang...
Ini konyol sekali. Hampir tiap hari aku berfikir dan berusaha untuk tetap melukiskan dirimu dalam bait kata-kata. Buka tutup laptop, on off blog, tarik-ulur buku catatan. Tapi tak satupun yang berhasil kubuat. Lagi dan lagi... hanya perasaan yang tahu segalanya tapi enggan dimaknai.

Puluhan kata yang berjajar di layar pun semakin tak berguna. Hanya dibaca untuk dihapus kembali. Begitu sulitnyakah kau kukenang? Apa ini pertanda bahwa kau bukan yang harus kukenang? Apa aku yang (lagi) terlalu bodoh memaknai perasaan sendiri?

Tak ada kata, tak ada rupa...
Kau hanya angin, terasa menenangkan tapi semu.
Kau hanya hujan, yang berlalu dan tak kembali.
Kau hanya awan hitam, mengahalangi raja tapi membawa keteduhan jua.
Kau hanya kabut tebal, mampu menyelimuti tubuh tapi bukan kehangatan.
Dan kau.... hanya ilusiii.... yang terlahir dari pemikiran gadis belia yang polos.

Mengapa kau didatangkan jika tak bisa dimiliki? Apa Tuhan, hanya ingin menguji kesungguhanku dari ketidak tahuan diri? Atau jangan-jangan... Dia ingin menunjukan batas kelemahanku, agar tak lagi kuresapi rasa 'ini' (lagi) mengenang sosok sepertimu.

Lantas, adakah rindu yang kau rasa sepertiku?

Aku hanya ingin mengenang bahwa kita pernah ada. Aku hanya ingin bercerita bahwa kau pernah menjadi bagian dari kebahagiaanku. Cukup. Tapi memilikimu, lebih dari sekedar hayalan yang cukup memekakan perasaan. Karena itu tak pernah mungkin terjadi.