Berkelahi (lagi) aku dengan diri
sendiri. Mengapa begitu mudahnya aku terjebak dan terpancing amarah, hanya
mengulam kebahagian yang sejatinya adalah sendu kelabu. sebodoh itukah hatiku
merasa? Niat berlari, nyatanya hanya berputar ditempat yang sama. Niat berubah,
nyatanya hanya sanggup bertahan. Niat ini, niat itu… semua hanya sebatas niat
yang hansilnya nol (0). Yah ini salahku, kau tak pernah tahu apa yang terjadi.
Salahku yang tak melibatkanmu dengan yakin, salahku yang telah mengartikanmu
sesuka hatiku, salahku yang berharap dahulu.
Aku sadar kita berbeda faham, aku
sadar kita berbeda sandaran, tapi kita masih dalam satu keyakinan! Aku tahu ini
ide gila, bukan, ini bukan ide, tapi ‘celetukan’. Tapi menafikanmu dengan
sebenarnya begitu sulit, menyatakan keadaanmu saja aku tak sanggup, apalagi
bila harus aku melibatkanmu. Mungkin kau hanya akan diam membisu, tercengang
dengan tatapan hampa, berdiam layaknya patung, bahkan mungkin sampai kelopak
matamupun lupa untuk berkedip, tak percaya dengan aku, tak percaya dengan
kejujuranku.
Ini hanya ungkapan lelah yang
menjijikan dimatamu. Bukan hanya padamu seorang, mungkin lelah ini sudah
komplikasi. Semua berebut memasuki jiwa, berharap bisa mengendalikan diri
dengan sebenar-benarnya, yang padahal ‘itu egois sekali’. Lantas… apa yang
harus aku lakukan sekarang? Meski ini hanya ungkapan lelah, tapi sungguh ini
menyakitkan.
Selama ini aku hanya menunggu
waktu, menunggu kau bicara, menunggu kedatangnmu, menunggu keberanianmu,
menunggu kau serius, Tuan. Sungguh! Aku menunggu. Kini aku sudah berdiri
diujung kejemuan, lelahpun sudah mengakar, tapi mana hasilnya?! Kau tak pernah
ada nyatanya. Aku tak pernah mengatakanmu pecundang, aku tak pernah memintamu
datang, aku tak pernah merajuk untuk serius, tapi… aku hanya menunggu
kesadaranmu, aku hanya mengujimu dalam diam, menguliti seberapa besar kau
menerimaku.
Nyatanya ini hanya egokuku, benar-benar hanya egoku. Pencipta virus,
tapi mati oleh virus yang dibuatnya sendiri.