Kamis, 13 November 2014

Teruntuk Tuanku

Haru yang entah apa namanya, bisa sesal bisa bahagia, rumit sekali untuk diekspresikan dalam nyata. Yaah, ini aku... aku yang terkejut dengan perubahanmu yang begitu tiba-tiba, mangapa setelah kepergianmu yang mendadak, lagi, kau datang dengan senyum yang baru? Kau pikir aku senang? Kau pikir ini adalah sebuah kejutan? Tidak Tuan, tidak. Bahagia yang semestinya bisa luruh dalam sekejap bersimbah air mata.

Selama ini, aku diam bukan tak perduli, aku menunggu... menunggu dengan penuh pengharapan darimu, tapi apa balasannya? Bahagiapun tak kau sebut.

Maaf, atas kebodohan perempuan tengil ini, Tuan. Mungkin hati yang selalu jadi peran utama, telah mengenyampingkan akal rasional. Maaf, atas perasaan yang tak semestinya ada seperti ini.

Tak apa kau berbeda, lagi akan kukaji sabar itu. Lagi akan kukejar doa-doa itu, lagi akan kunafikan hatiku. Maaf, telah mencintaimu dalam sekejap. Maaf, telah mengagumimu dalam diam. Aku sadar, Tuanku bukan siapa-siapa lagi saat ini. Selamat jalan Tuan, salam rindu dari hamba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar